Kamis, 27 Mei 2010

FF HILANG

HILANG

“Arrrggghh. . . .!!!”
Perasaan marah, kesal, tak terima, membaur jadi satu.

Draco terus berjalan.
Sekarang otaknya sedang tidak bisa diajak berfikir. Kini ia hanya mengikuti suara hatinya, yang sejak tadi hanya menyuarakan satu kalimat 'menjauh... dari Malfoy Manor.'

Terdengar bunyi 'pop' kecil saat Draco melakukan apparate.

Draco mengerjapkan matanya,menyesuaikan pandangan dengan keadaan disekitarnya yang gelap. Draco tidak tahu ia berada dimana, sewaktu melakukan apparate tadi ia hanya memikirkan suatu tempat yang tenang dan yang pasti jauh dari jangkauan Malfoy Manor.

Dan dengan 'cemerlang'nya ia muncul disini, di-hutan-yang-entah-dimana

.

Beruntung pikirannya sudah bkerja secara normal, dan segera mengirim perintah untuk segera keluar dari hutan tersebut, karena draco tidak berani menjamin kalau penduduk hutan tersebut lebih ramah daripada penduduk hutan terlarang hogwarts.

“ lumos. ”
Draco mengerjapkan matanya.

Memang tidak cukup terang, tapi setidaknya cukup untuk menerangi jalannya.

Ia tidak mau menarik perhatian penduduk hutan dengan cahaya yang lebih dari ini.

Draco mulai menyusuri hutan, ia memilih jalan yang lumutnya semakin jarang.

'setidaknya semakin banyak lumut semakin dalam hutan bukan?'pikir Draco.

Kembali teringat ucapan ayahnya “berbahagialah, Draco, sebentar lagi kau akan menjadi pelahap maut.”

Yeah, kalimat itulah yang sedari tadi terngiang-ngiang di kepalanya.

Membuat darahnya mendidih sampai ke ubun-ubun.


Ia tidak menyangkal kalau ia amat suka mengerjai anak-anak diluar slyterin, terutama si muka codet potter dan si miskin weasley, tapi ini? pelahap maut? di usia semuda ini? oh, tidak. . .ini terlalu jauh.


Tentu saja Draco ingin protes, tapi ia sudah terlalu paham, bahwa bagi seorang malfoy, pantang untuk menarik ucapannya.

Dan malam ini adalah puncaknya.
Ia sudah tidak kuat lagi menahan gemuruh dadanya.

“aku ingin menikmati hari sebelum terikat”
Kata terakhir yang Draco ucapkan sebelum ia meninggalkan Malfoy Manor.

Suara gemerisik kecil membuyarkan lamunannya.

Draco menghentikan langkahnya, tubuhnya bersiaga terhadap gerakan sekecil apapun disekitarnya.
Jantungnya berdetak kencang,
Dan tiba-tiba―


'whoop'


Sesuatu meloncat ke tubuhnya.

Tubuh Draco menegang.


'ugh, sial. . . !
Cuma jembalang, . . .' Draco mengutuki dirinya yang secepat itu kaget hanya karna beberapa ekor jembalang?
'Sangat-bukan-Malfoy. . .
Memalukan. . .!!'

***

forbiden love part 1

-sekuel hilang-

***
Hanya deru nafas, derap langkah seribu, gemerisik daun kering, dan dahan yang patah terinjak yang terdengar telinganya sekarang.

Suara auman itu datang lagi.

Ia berlari dan terus berlari. Membelah semak ilalang, menembus gelap malam. Ia asing akan daerah ini, tetapi ia tidak perduli, karena seekor musang abnormal kelaparan sedang memburunya kini.

“ohh, sial !”

Ia berhenti berlari, bukan karena tak kuat lagi, hidup di lingkungan keluarga yang mempunyai disiplin keras membuatnya tumbuh menjadi pemuda tangguh.
Jalan yang dilaluinya telah berujung. Di depannya terhampar jurang hitam yang ia sendiri tak yakin berdasar.

Sewaktu ia akan berbalik, si musang telah berdiri gagah dihadapannya. Mengaum rendah, menyeringai menang.

Jantungnya bergedap kencang, nafasnya memburu. Tak ada pilihan lagi, ia telah kalah.

Ia mundur perlahan ke bibir jurang. Mencoba mengulur waktu, menegosiasikan kematian.
Si musang hampir mendekat ketika terdengar bunyi 'krrak' keras.
Selanjutnya ia melayang, terbang kebawah.

“ARRRGGGHH. . . .!!!”

Ia terperanjat bangun. Peluh mebasahi tubuhnya, nyeri menjalar disetiap inchi tubuhnya, ia meraba kepalanya yang terasa pening,
dibebat perban.

“Kau sudah bangun, Nak !”
seorang lelaki setengah baya memasuki kamarnya.
Ya, ia baru sadar bahwa ia berada disebuah kamar yang sederhana namun nyaman.

“Anakku menemukanmu tergeletak di dasar lereng dekat peternakan kami.
Waktu itu kondisimu cukup parah. Baju penuh darah. Beberapa memar, bekas cakar dan luka dikepalamu ”
kata lelaki itu sambil menunjukkan setiap detilnya dengan matanya.

“jadi, bagaimana perasaanmu sekarang?” tanya lelaki itu lagi ketika si pemuda belum juga menjawab.

“Baik, terimakasih” suaranya kering.

Lelaki itu tersenyum,
“walaupun sebagian besar lukamu telah membaik, tetapi kau masih perlu banyak perawatan, terlebih dengan yang dikepalamu”

Pemuda itu mengangguk pelan.
“Maaf, anda siapa? dan dimana. . .”

“Akh,iya.
Maaf,aku belum memperkenalkan diri. Aku Ames Darrell. Dan kau sekarang berada di Cannes, Perancis.”

Pemuda itu tetap diam,semuanya terasa asing baginya.

“Dan kau ?
siapa namamu dan apa yang sedang kau lakukan di hutan Malam? ”

“Aku. . .
namaku. . .”
pemuda itu mencoba berpikir dan ia menyadari sesuatu yang mencengangkan !
Ia lupa namanya.
lebih tepatnya Ia lupa siapa dirinya !

“Aku siapa ?”ia berusaha mengingat. Tapi, semakin keras ia mencoba mengingatnya, semakin sakit kepalanya.


“SIAPA AKU SEBENARNYA. . .”

****

forbidden love part 2

Mr. Darrell masih berada dipuncak tangga ketika ia mendengar putrinya masuk.

“Hai, Dad !”

“Oh, kau sudah pulang, Asha. Ada yang ingin kuberitahu padamu,” kata Mr. Darrell sambil menuruni tangga.

“Aku dengarkan.” jawab Asha santai sambil menuangkan air ke dalam gelasnya dan meminumnya.

“Dia penyihir,”

Asha tertegun sejenak, kemudian melanjutkan meminum sisa airnya hingga habis.
“bagus, lalu?”

“Dan dia amnesia”

Asha membelalakan matanya, tanpa bersuara ayahnya tahu bahwa Asha butuh penjelasan.

“sepertinya benturan di kepalanya cukup keras waktu ia jatuh dulu,”

“bisakah kita menyembuhkannya, Dad?”

“Bisa, tetapi terlalu beresiko, mantra untuk penyembuhan luka yang diakibatkan oleh kecelakaan nonmagic sangat riskan. Kesalahan sekecil apapun dapat membuat penderitanya mengalami kerusakan otak permanen.”

“So? ”tanya Asha sambil menaikkan kedua alìsnya.

“Kita akan merawatnya, Asha. Bagaimanapun kita yang menemukannya. Itu berarti dia tanggung jawab kita sekarang.” tegas Mr. Darrell. “Baiklah, Dad. Aku mengerti.”

Asha menganguk-angguk.

Obrolan mereka berhenti ketika terdengar bunyi gaduh dari lantai atas. Mereka berdua berpandangan sejenak.

“Sepertinya kau harus berbicara dengannya, Asha. Mungkin kau bisa menenangkannya. Aku takut jika dia seperti ini terus kondisinya akan kembali melemah,” kata Mr. Darrell sambil menyiapkan segelas ramuan.

“Huft. . .aku coba” Asha beranjak dari kursinya.

“Berikan ini” Mr. Darrell mengulurkan ramuan yang ia buat tadi.

“Ini akan mempercepat penyembuhan lukanya” tambahnya.

Asha baru menginjakkan kakinya di tangga pertama ketika ia berbalik,
“Kau tahu, Dad?”

Mr. Darrell yang sedang membersihkan tangannya menoleh.

“Kadang kurasa kau terlalu baik”
ucap Asha serius.

Mr. Darrell tersenyum,
“Dan aku merasa tak ada satu sifatpun dariku yang tidak menurun pada putriku”ucap Mr. Darrell masih dengan tersenyum.

Asha mengerutkan dahi.

“Masih ingat ketika kau meninggalkan sapi-sapimu dan berlari menembus hujan hanya untuk membawa pemuda itu pulang? kau tahu apa resikonya bila ada muggle yang melihatmu menerbangkan pemuda itu?

tapi kau bahkan tak perduli, yang kau pikirkan hanya secepatnya menyelamatkan pemuda penuh darah itu, yang bahkan kau tak tahu masih bernyawa atau tidak.”terang Mr. Darrell panjang lebar yang segera membuat putrinya merona merah.

“Aku telah memeriksa detak jantungnya kalau ayah tidak tahu itu !” ucap Asha sebelum menaiki tangga. Mukanya sudah semerah tomat.

Ayahnya
tersenyum,

ada sesuatu...

*****
forbidden love part 3

Lampu berkedip-kedip,benda-benda
bergemeletak, bahkan beberapa buku berterbangan. Seakan mereka memahami perasaan penghuninya.

"Hai,"
Asha masuk dengan canggung. Keadaan dikamar itu amat berantakan.
Pemuda itu tak perduli, menatap sinis kedepan, seakan Asha hanya sebutir debu yang tak perlu diperhatikan.

"Aku Asha,
Erm, aku hanya mengantarkan ini," kata Asha masih canggung menunjukkan piala yang dibawanya.
Pemuda itu tetap tak bereaksi.

" kuletakkan disini,
Dad bilang kau harus meninumnya setiap pagi." Asha meghampiri satu-satunya meja yang ada di samping tempat tidur, dan meletakkan ramuan itu disana. Kemudian mendekat ke pemuda itu, tidak terlalu dekat, tapi cukup untuk mendengar sesuatu jika memang pemuda itu akan mengatakan sesuatu.
Pemuda itu tetap diam.

" Dad bilang kau terkena amnesia, apa kau benar - benar tak mengingat sesuatu?" ucap Asha memecah keheningan.
Pemuda itu tetap diam.

" Aku bisa menjadi pendengar yang baik kalau kau mau berbagi sesuatu" ucap asha setengah berharap.
yang dibalas dengan tatapan sinis si pemuda, disusul dengan pecahan seluruh lampu yang memekakkan telinga.
Asha kaget, ia pernah mendengar penyihir dapat menyebabkan sihir diluar kontrol kalau emosinya sedang labil, namun ia tidak tahu bahwa bakal sampai sehebat ini efeknya.

Asha langsung mengerti bahwa satu -satunya cara untuk meredakannya adalah dengan mwembiarkannya tenang, maka Ashapun beranjak.

Asha menghela napas,
ia berbalik ketika hampir mencapai pintu
"cuma mengingatkan,
lebih baik kau berbagi tentang masalahmu, daripada kau pendam sendiri. Karena walaupun itu tidak akan menyelesaikan masalahmu, setidaknya itu akan mengurangi bebanmu."
Asha tersenyum sebelum menghilang dibalik pintu.
dan pemuda itu,
tetap diam.

*****

Siang itu Asha kembali ke kamar atas untuk mengantarkan makan siang.
Kali ini cikup tenang karena pemuda itu tengah tertidur. Ia melihat kearah piala yang berisi ramuan tadi, kosong...

Ia barniat segera pergi setelah meletakkan nampan makanan dan mengambil piala tadi.
Tapi sesuatu yang berada diatas tempat tidur menahan langkahnya.
Tenang, tanpa beban,seperti waktu pertama kali ia menemukannya, hanya kali ini tanpa darah.
sangat berbeda dengan wajahnya tadi pagi yang menyiratkan kebencian.
"Manis...."

Pemuda itu bergerak pelan, tapi tidak terbangun, membuat Asha tersadar sudah cukup lama ia terpesona dengan sosok yang ada didepannya.

"oh, tidak....aku pasti sudah gila" Asha menggumam sendiri setelah menyadari semuanya.
Ia segera beranjak pergi setelah merapalkan beberapa mantra untuk merapikan kondisi kamar tersebut.

Hingga menjadi rutinitas Asha, menyiapkan segalanya untuk pemuda tanpa nama tersebut. Walaupun masih tanpa suara.Setidaknya raut wajahnya sudah lebih bersahabat daripada sebelumnya.
Ia melakukan semuanya dengan senang hati, terlebih ketika pemuda itu sedang tertidur,
karena baginya, saat itu adalah saat untuk mengenal pemuda itu lebih dekat.


*****

"Kukira lukamu sudah sembuh," kata Asha sambil memeriksa lengan pemuda itu.
"coba kau gerakkan !"perintah Asha yang langsung dituruti pemuda itu,
"apa masih sakit?" tanya Asha sekali lagi.
pemuda itu menggeleng, sikapnya memang sudah melunak.

"dhuaarrr"
Asha menepuk bahu pemuda itu kuat - kuat.

"aww." erang pemuda itu sambil mengusap usap bahunya dan melenpar pandangan bertanya pada Asha.
" ow, ternyata kau bisa berbicara juga" kata Asha dengan memasang wajah tak bersalahnya.
pemuda itu berjengit," bodoh...."
Asha tersenyum lebar.

" jadi aku harus menjadi bodoh dulu agar kau mau berbicara?
keterlaluan........." Asha pura - pura cemberut yang entah mengapa membuat pemuda itu seakan tersenyum.

"Hei, apa tadi kau tersenyum?" kata Asha sambil tersenyum tak percaya.
"bodoh..!!!!"pemuda itu salah tingkah.
"ha? kau bisa salah tingkah juga...?" Asha masih menggoda.
"berisik.....!!!!" kata pemuda itu kesal yang kemudian disusul gelak tawa Asha.

Mr. Darrell yang mendengar dari bawah hanya tersenyum, dan berharap ini bukan sementara.
karena walaupun Asha tidak mengatakan apa -apa, Mr.Darrell tahu bahwa putrinya menaruh hati pada pemuda tanpa nama itu.

*****

forbidden love part 4

Matahari siang itu nampak tak bersahabat.
Mr. Darrell tergesa-gesa masuk kedalam rumah. Peluh membasahi seluruh tubuhnya.
“Siang,Dad !”
“Hi, Asha. Apa yang sedang kau lakukan?” tanya Mr. Darrell penasaran melihat putrinya sibuk di dapur.
“Menyiapkan makan siang kita, aku buat omelet, Dad mau memulainya?” tawar Asha sambil tetap fokus dengan makanannya.
“Yah, seporsi omelet akan cukup untuk mengganjal perutku selagi aku berendam di air dingin. Cuaca diluar benar-benar tak bersahabat.” kata Mr. Darrell sambil melengguh pelan.

Asha tersenyum dan menyajikan seporsi omelet untuk ayahnya, lalu kembali lagi ke dapur.
“Kau sedang menyiapkan lunch untuk dia?” tanya Mr. Darrell disela makannya.
Asha mengangguk, ia tahu siapa yang dimaksud 'dia' oleh ayahnya.
“Akan langsung aku antarkan setelah semua selesai.” jawab Asha yang kini sudah mulai menata makanan diatas nampan.
“Ku rasa kau tak perlu mengantarnya lagi,”kata Mr. Darrell santai.
“Kenapa?” tanya Asha sedikit tidak setuju yang sedetik kemudian terjawab oleh matanya.

Pemuda itu kini telah berada di sana.

Asha terdiam,terpaku,mematung-
terpesona.

“Hai, Nak. Kemarilah, kita makan bersama. ” ajak Mr. Darrell sambil menyuapkan sepotong omelet kemulutnya.
“Tidak, terima kasih. Aku hanya ingin berjalan-jalan sebentar keluar.” Jawab pemuda itu sopan.
“Oh,ayolah. Diluar masih sangat panas, lagipula ada yang ingin aku bicarakan denganmu.”
Pemuda itu mengangguk sopan kemudian mengambil tempat di kanan Mr. Darrell.
“kau akan mengambilkan makanan atau tetap berdiri disitu sebagai pajangan?”

-brrrrrr-
seakan ada badai darah dari ujung kaki ke wajah Asha, muka tomat lagi !
yang langsung berbalik tanpa mengucapkan apa-apa.

'halloow, ada yg punya panci besar untuk menutupi muka saya. . ??!!
huftt. . .'

“bodoh,bodoh,bodoh. . . .”ucap Asha berulang-ulang sambil memukul-mukul kepalanya.

Asha kembali ke meja makan dengan membawa dua porsi omelet. Mukanya sudah tak semerah tadi.

“Aku sudah tahu makhluk apa yang menyerangmu, walaupun agak tak percaya, tetapi beberapa
orang melihat jejaknya disekitar lereng.” Mr. Darrell memecah keheningan.
“oh,ya?
apa ?”tanya Asha penasaran, wajahnya sudah normal kembali. Pemuda itu diam, tetapi ekspresinya menunjukkan rasa ingin tahu.
“dia itu-
erm-
jarvey. . .”
Asha membelalak tak percaya, tawanya hampir pecah jika ayahnya tidak segera menyuruhnya diam dengan matanya.

“Apa itu?”
Pemuda itu masih penasaran.
“ehm, itu...er,
ah, biar Asha saja yang menjelaskan nanti. Ada yang lebih penting dari itu.”Mr. Darrell merubah arah pembicaraan.
Asha melotot tidak percaya,... See More
ia berkata dalam diam kepada ayahnya,
'what...? me...?'
yang tidak diperdulikan oleh Mr. Darrell.
Asha mendengus kesal.
“Ini tentang dirimu” Mr. Darrell memulai,
serius.
“Sejak pertama kali aku melihatmu,aku tahu kau bukan dari Prancis.
Sebenarnya waktu pertama kau siuman aku ingin menanyakan tentang keluargamu,agar aku bisa mengabarkan tentang keadaanmu,” Mr. Darrel berhenti sejenak mengambil napas.
Asha terdiam,
jantungnya berdetak kencang.
“tetapi ternyata kau amnesia, lagi pula keadaanmu tidak memungkinkan untuk diajak bicara, oleh karena itu aku merawatmu.”
Detak jantung Asha bertambah kencang,
sebentar lagi,
yah, sebentar lagi ayahnya akan sampai pada pertanyaan yang selama ini ditakutkan Asha.
“Dan sekarang,
kurasa sudah saatnya kau untuk memutuskan,
mengingat kau telah meninggalkan keluargamu terlalu lama.
Jika kau mau, ku kira Kepala sekolah Asha mau membantu, mengingat dia pernah mengantarkan siswanya untuk mengikuti turnamen Triwizard di Hogwarts. Dan dilihat dari usiamu, pasti kau salah satu murid sekolah sihir. Kalau bukan Hogwarts berarti Drumstrang.
Jadi, apa keputusanmu?
kau tahu bukannya aku tidak suka dengan keberadaanmu disini, tapi keluargamu mungkin sedang mencarimu sekarang,”
Mr. Darrell berkata dengan berat hati.
“Ya, aku mengerti.” pemuda itu tampak berfikir.
Mr. Darrell menghela napas,
Asha terdiam, perasaannya tak karuan, ia memandang bergantian antara ayahnya dan pemuda itu.
“jadi ?”
semua terdiam,
sunyi. . .

'tidak, kumohon. . .'

“Ya,”

Hati Asha mencelos, ulu hatinya terasa nyeri yang amat sangat dalam.
Tangannya gemetar di bawah meja.
Mr. Darrell tersenyum walaupun ada gurat kesedian disana.
Mereka lama terdiam, saling berkutat dengan perasaan masing-masing.
“Hhh, baiklah. . .
aku akan menemui Madame Maxime sekarang. ” kata Mr. Darrell sambil bangkit dari kursi yang di balas dengan anggukan kecil dari pemuda itu. Sedangkan Asha, tertunduk dalam. Ia sudah tidak mempunyai kekuatan lagi walaupun hanya untuk mengangkat wajahnya.
Sebelum meninggalkan rumah, Mr. Darrell mengusap kepala keduanya,
meninggalkan keduanya dalam kediaman.
lama,
sunyi. .
“Asha. .”
Asha sudah tak sanggup lagi,
kenapa disaat pertama kali pemuda itu memanggil namanya,saat itu juga ia memutuskan akan meninggalkannya?

Asha menangis....

****

forbidden love part 5

Senyap. . . .
Hanya isak tangis yang sesekali terdengar,
Selebihnya,
Hening. . . . .
“Jadi, kau mau pergi?” Asha berusaha menguatkan diri. Suaranya bergetar.
“Bukan masalah mau atau tidak, tapi harus atau tidak harus.” Pemuda didepannya mengangguk walau terasa berat.
Keduanya lalu terdiam, masing-masing sibuk berkutat dengan perasaannya, antara mengutarakan atau menyimpan. Yang kemudian terjawab hanya dengan satu kata,
Diam. . . . .
“Setengah hari lagi. . . .” Pemuda itu berbicara diantara lamunannya. Pandangannya masih menerawang.
Asha tersadar dari lamunannya, kemudian tersenyum miris.
'Ya, tinggal setengah hari lagi sebelum kau pergi,
Dari duniaku,
Dari rumahku,
Dari kehidupanku. . .'
“Aku ingin mempunyai kenangan yang indah tentang semua ini, terutama tentang―
kau. . . ”
Asha membelalakkan matanya. Kali ini ia memberanikan diri untuk menatap wajah pemuda yang ada didepannya, sekedar memastikan bahwa tadi bukanlah bagian dari lamunannya.
Dan tidak, ini nyata. Pemuda itu kini sedang menatap dalam kearah Asha.
“Apa?” Asha masih tak percaya.
“Aku ingin mempunyai kenangan indah tentang semuanya, tentang rumah ini, tentang keluarga ini, terutama tentang―
kau. . . . ” Kata pemuda itu serius. Pandangan mereka kini beradu.
Asha terdiam dengan senyum dibibirnya, tak ada kata yang terucap, otaknya masih sibuk mencerna perkataan tadi.
“Jadi, maukah kau, menemaniku untuk menghabiskan yang setengah hari itu?” tanya pemuda itu sedikit tegang.
“Ya,” Hanya itu satu-satunya kata yang keluar dari mulut Asha. Satu kata yang yang akan merubah dunia.
Keduanya tersenyum, kebahagiaan diantara keduanya tak terucap, tak perlu terucap, karna mata telah berbicara.
***
Mereka berjalan beriringan menuju peternakan. Sisa kesedihan masih tertinggal di raut wajah masing-masing, namun kini tertutupi oleh rona bahagia.
“Aku ingin tahu namamu, ” kata Asha sambil berjalan. Matanya tak lepas dari rerumputan di kanan kiri jalan yang entah kenapa kini terlihat manis.
Pemuda itu menghentikan langkahnya. Asha yang baru mengetahui beberapa langkah kemudian ikut berbenti, berbalik.
“Kenapa ? Masa aku tidak boleh mendapatkan kenang-kenangan darimu walau hanya sebuah nama?” Asha bertanya ringan.
“Hhh, tapikan kau tahu aku tak ingat apa-apa, bahkan hanya untuk sebuah nama.” Terang pemuda itu dengan sedikit penekanan di kalimat terakhir.
“Kalau begitu kenapa tidak kita buat saja?” Balas Asha masih tenang.
“Haha, kau bercanda.” Pemuda itu tersenyum.
Ashapun tersenyum.

“Ok, berikan aku satu. ”

Kali ini Asha tidak bisa menyembunyikan tawanya, yang dibalas dengan tatapan kesal pemuda itu.

“Bagaimana kalau orion?” tanya Asha bersemangat.... See More
Pemuda itu menggidikkan bahu.

“Auxell?
Dalm?
Peter?” yang kesemuanya dijawab dengan pandangan -aneh- atau -gila-

“Ferret?”
Pemuda itu menatap tak percaya. “ Tak ada yang lebih buruk dari itu?”
“Kenapa? Aku pikir itu bagus.”
Pemuda itu mendengus kesal.
Asha melengguh,
“Ok, ini yang terakhir
Scorpie.”

“Tapi―”
“Scorpie or Ferret?” Asha sudah kehabisan stok sabar.
Pemuda itu melengguh pasrah, kemudian

“Scorpie.”

Asha memekik kegirangan,

“Erm, jadi. . .
Scorpie, apa yang ingin kau ketahui?” Asha bertanya dengan semangat.

“Oh, God, aku ingin muntah.” Kata pemuda-erm, maksudku Scorpie- sambil memutar bola matanya.

“Hey !” Asha protes.

“Dimana ibumu?” tanya Scorpie ringan.

Asha mendadak diam, matanya menerawang, memancarkan kepedihan.

“Asha ?” panggil Scorpie khawatir.

“ Dia meninggal” Jawab Asha tanpa mengalihkan pandangannya.

“Oh, maaf-” Scorpie tidak enak hati. “Kau tahu, aku tidak memaksamu untuk menceritakannya.” sambung Scorpie merasa bersalah.

“Dulu, kami tinggal di London. Ibuku adalah penyihir yang cukup hebat.
Ia bekerja di Departemen Misteri. Kami adalah keluarga yang bahagia sebelum para Death Eater merusaknya.” Bibir Asha bergetar menahan emosi.

“Waktu itu kami sedang di Departemen Misteri, menunggu Mum untuk memberi kejutan ulang tahunnya, ketika itu mereka datang. Mereka langsung menyerang semua yang ada, Mum memerintahkan Dad untuk membawaku pergi menyelamatkan diri menggunakan bubuk floo sementara ia bertempur. Yang terakhir aku ingat hanya reberkas sinar hijau dan teriakan Mum.

Sejak itu kami disini,” Asha miris, dipipinya kini mengalir air mata.

“Setiap mengingat kejadian itu Dad menangis, ia menyalahkan dirinya yang squib, sehingga tidak dapat berbuat apa-apa.”

“Jadi, karena itu kau berusaha tegar didepan ayahmu?” tanya Scorpie penuh simpati. Asha mengangguk, kemudian memejamkan matanya, berharap dapat menghapuskan sedikit lara.

Mereka terdiam, membiarkan sedikit ketenangan.

“Oh, aku ingat sesuatu,tentang makhluk yang menyerangku, apa itu?” Scorpie mengalihkan topik. Benar juga, Asha mendadak tertawa, giliran Scorpie yang protes.
“ Hey ! ”

Asha kemudian memberi isyarat sebentar,sementara ia menghentikan tawanya.
“ Maaf,
Makhluk itu jarvey,” Kata asha susah payah.

“Aku tahu, tapi kenapa kalian tertawa ketika menyebut nama itu?” tanya Scorpie.

“Karena jarvey bukan binatang buas, dan kau terluka separah itu hanya karna jarvey?” Asha kembali tertawa.

“Tapi kenyataannya memang seperti itu !” Scorpie tak terima.... See More

“Baiklah, terserah apa katamu, yang perlu kau ingat, jarvey hanya memakan jembalang.” Kata Asha yang sudah berhenti tertawa.

“Lalu mengapa dia menyerangku?!” Scorpie mulai kesal dijadikan bahan tertawaan.

“ Satu-satunya alasan yang paling masuk akal hasil pembicaraanku dengan Dad adalah-” Asha serius.

“ya?” Scorpie tidak sabar.

“karna-
Dia menganggapmu,
Jembalang besar” Asha mengangguk-angguk dengan muka serius.

Scorpie membelalakkan matanya.

“ASHAAA. . . . !!!!”

Yang terdengar hanya gelak tawa dan derap lari Asha yang kini sudah berada di tengah padang rumput.

Scorpie menggeram kesal memandang punggung Asha yang telah dulu melarikan diri.

Sesuatu dilangit menyita perhatiannya, sebuah benda melayang indah, semakin lama semakin rendah, dan memuju kearah―

Asha !

Scorpie membelalakan matanya, “Oh, tidak. . .
Asha ! menyingkir !” Scorpie segera berlari ke arah Asha yang kini terengah-engah di tengah padang sehingga ia terlalu lelah untuk memperhatikan.

Mata Scorpie menatap bergantian antara Asha dan benda itu.

Sebentar lagi ia mencapai tempat Asha, tapi benda itu juga semakin dekat.

“ASHA. . .!!”

Asha sepertinya mendengar, ia menatap heran ke arah Scorpie yang berlari seperti kesetanan.

Sayup-sayup Asha mendengar sesuatu di belakangnya. Iapun menoleh dan sedetik kemudian―

“AARRGHH. . !!”

-bruugkkk-

Scorpie lebih cepat menangkap Asha, mereka berdua berguling-guling ditanah.

Ough, hampir saja.

Napas mereka tersenggal, detak jantung mereka tak beraturan, masih syok.

“Kau tidak apa-apa?” Scorpie bertanya khawatir. Asha yang masih kaget hanya dapat menggeleng.

“Kalau begitu bisakah kau bangkit? Kau terasa- berat.” ucap Scorpie tersenggal. Asha baru sadar kalau sekarang ia berada di atas Scorpie,

“Oh, sorry. Aku tak sengaja.” Asha buru-buru bangkit. Mukanya memerah.

“Tak apa,” jawab Scorpie tenang lalu mengibas-ibaskan pakaiannya yang kotor.

“Adila !” Asha beranjak mendekati benda yang tadi hampir menabraknya, yang ternyata adalah seekor pegasus dengan kantong kulit di punggungnya.

“Kau mengenalnya?” Scorpie ikut mendekat. Asha mengangguk, kemudian membelai adila.

“Ya, dia pegasus Beauxbatons, yang biasa mengirim keperluan muridnya di awal tahun ajaran.”

Kata Asha yang sedang mencoba menurunkan kantong yang berada di punggung Adila.

“Maksudmu kau memesannya?” tanya Scorpie sambil membantu menurunkan kantong tersebut.

“Ya, dengan begitu kita tidak perlu repot-repot berbelanja, tinggal kirim burung hantu, dan kemudian diantar” Kata Asha sambil memeriksa pesanannya. ... See More

Setelah tidak ada yang terlewat, Asha memasukkan beberapa keping galleon ke kantong kecil dileher Adila, Adilapun kembali terbang.

Membelah langit, menembus awan.

Asha sedang melihat-lihat tongkat barunya ketika ia teringat sesuatu,

“Hey, Scorpie. Bukankah kau seorang penyihir?” Tanya Asha mengalihkan pandangan dari tongkat barunya.

“ Sepertinya begitu,” Jawab Scorpie tenang.

“ Bukankah setiap penyihir mempunyai tongkat?”

“Aku tak tahu,” jawab Scorpie asal. Ia sedang sibuk membaca buku ramuan.

“Scorpie !” Bentak Asha tak suka.

“ Iya-iya, lalu kenapa?” balas Scorpie tak kalah kerasnya.

“Mungkin kau mempunyai tongkat waktu kau kemari !” Jelas Asha bersemangat.

Scorpie masih tak mengerti.

“Lalu?”

“ Scorpie !
Tak inginjah kau mememukannya?” Asha geram.

“Tapi mau mencari kemana?” Scorpie sudah tak tahu harus bagaimana lagi.

“Hutan Malam !
Mungkin tertinggal disana waktu kau jatuh dulu !” Kata Asha.

“so?” Scorpie masih bingung.

Asha menggeram geregetan.

“ YA KITA CARI SEKARANG. . !!”
Kata Asha tak sabar sambil menarik Scorpie yang hampir sukses terjengkang.

***

Scorpie berjalan enggan diantara lumut basah. Mengais dedaunan kering mecari tongkat yang mungkin ada dan telah ditinggalkan selama hampir sebulan. Asha meminta untuk berpencar sehingga ia sendirian disini.

Tiba- tiba,

-kraakk-

Scorpie menoleh,
“Asha ?”

Tak ada jawaban.

Scorpie perlahan mendekat. Baru beberapa langkah sesuatu ditanah menyita perhatiannya, sebagian tertutup daun kering.

Scorpie penasaran, baru ia akan mengambilnya, tiba-tiba seseorang telah lebih dulu meraihnya.

Scorpie mendongak untuk melihat siapa yang mendahuluinya.

“Hallo, Draco !” kata wanita tesebut sambil mengulurkan tongkat hawthorn yang dipegangnya.

Dibelakangnya menyusul dua orang pria.

Scorpie merasa dunia berputar. Kepalanya terasa sakit.

“Arrrgghh. . !!!”

“Scorpie. . !!!”

Sayup-sayup Scorpie mendengar teriakan Asha, namun ia terlalu sakit untuk menyahut.

Scorpie meremas rambutnya, menahan perih.

Kemudian satu persatu ingatannya pulih.

“ Scorpie . . !”

Asha telah berada dibelakangnya.

Ia hampir menyentuh Scorpie kalau saja wanita itu tidak menghalanginya.

“Jangan kotori baju Draco dengan tanganmu, gadis sialan !”
Ancam wanita tesebut.
... See More
“Kita pulang, Draco !” perintah wanita tesebut.

Draco yang sudah pulih sepenuhnya, mengikuti dari belakang.

“Jangan ! Scorpie. . .!” Asha hampir meraih Draco, namun..

“CRUCIO !”

“ArrghhH. . . . !!!”

Asha terguling di tanah. Tubuhnya menggelepar merasakan sakit yang luar biasa.

“Aunt Bella !” Draco membentak.

“Oh, baiklah Draco,” Bellatrixpun menghentikan kutukannya, ia tertawa nyaring melihat Asha seperti pesakitan.

“Tidaaak. . . . !!! Ashaaaa. . . .!!!” tiba-tiba Mr. Darrell muncul.

“LESTRANGE. . . !!!” Mr. Darrell tak bisa menyembunyikan amarahnya.

Bellatrix yang melihatnya langsung tersenyum licik, seakan baru menemukan mainan lain.

“Ow, squib Darrell,

Jadi, ini putrimu. .
Oh, bagaimana rasanya melihat istrimu mati didepan matamu?
sangat indah bukan?”tawa Bellatrix kembali membahana.

Mr. Darrell mengepalkan tangannya.

“Oh, atau kau sudah lupa?

Bagaimana kalau ku ingatkan lagi?” lanjut Bellatrix sambil menyeringai licik.

Kemudian mengarahkan tongkatnya ke Asha.

Draco berjengit, ia tahu apa yang akan dilakukan Bellatrix.

“Aunt Bella !!”

Draco membentak lebih keras.
Tapi kali ini Bellatrix tidak menggubrisnya.

Bellatrix menyeringai, dibibirnya tersungging senyum penuh penyiksaan.

“AVADA KADAVRA. . . .!!!”

“Jangaaan. . .!!! Ashaaaa. . !!!”

Mr. Darrell berlari secepat mungkin kearah Asha.

Seberkas sinar hijau keluar dari tongkat Bellatrix menyentuh Mr. Darrell, yang seketika itu juga,
mati.

“TIDAAAK. . . . . !!! DAAAAD. . . . !!!!”

Hanya itu yang terakhir didengar Draco, kemudian―

-plup-

“MY NAME IS

DRACO MALFOY”

***




0 komentar:

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

Blogger Template by Blogcrowds